Masalah Polusi Udara di Indonesia

Menurut IQAir.com, dioperasikan oleh perusahaan Swiss terkemuka, kualitas udara Polusi Udara  secara bertahap semakin buruk. Pada tahun 2017a angka PM2.5 tercatat sebesar 29,7 µg/m³ atau “Sedang”. Pada tahun 2018 angka ini naik menjadi 45,3 µg/m³ atau “Tidak Sehat untuk Kelompok Sensitif” dan menunjukkan peningkatan lain pada tahun 2019 ketika konsentrasi diukur rata-rata 49,4 µg/m³. Angka-angka ini tercatat di ibukota Jakarta tetapi mencerminkan kecenderungan umum di sebagian besar wilayah Indonesia.

Sebaliknya, udara terbersih dapat ditemukan di kota Denpasar di pulau Bali. Dengan pembacaan AQI AS sebesar 66 dan konsentrasi PM2.5 sebesar 19,4 µg/m³, masuk dalam kategori “Sedang” (12,1-35,4 µg/m³).

Pada Juni 2019, di akhir Ramadhan, merupakan tradisi bagi keluarga untuk kembali ke provinsi asalnya selama beberapa hari untuk mengunjungi anggota keluarga yang jauh. Eksodus dari kota ini terlihat melalui peningkatan kualitas udara karena hampir tidak ada lalu lintas. Sehari sebelum dimulainya liburan, Jakarta mencatat tingkat polusi udara terparah. Ini didasarkan pada angka yang dicatat oleh AirVisual, aplikasi pemantauan kualitas udara. Angka yang tercatat adalah 210 US AQI yang menempatkan Jakarta jauh di atas kota-kota berpolusi buruk lainnya seperti Delhi, Beijing, dan Dubai.

Angka AQI didasarkan pada pengukuran lima polutan yang paling banyak ditemukan di udara. Terutama partikel halus PM2.5, sulfur dioksida (SO 2 ), nitrogen dioksida (NO 2 ), karbon monoksida (CO) dan ozon permukaan tanah (O 3). Setiap angka yang tercatat lebih dari 100 dianggap “tidak sehat”, sehingga angka lebih dari 200 digolongkan sebagai “sangat tidak sehat”. Ini didasarkan pada pedoman yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Sayangnya, masalah polusi udara bukanlah masalah baru bagi Indonesia karena udaranya telah tercemar berat selama bertahun-tahun. Sepanjang tahun 2017, stasiun pemantauan yang dioperasikan AS mencatat hanya 26 hari ketika kualitas udara dapat digolongkan sebagai “baik”. Sebagian besar hari-hari ini adalah musim hujan ketika badai besar membersihkan udara dengan menghanyutkan polutan. Karena itu, dikatakan dapat mengurangi harapan hidup penghuninya hingga 2,3 tahun. Dari semua polutan yang tersuspensi di atmosfer, partikel halus PM2.5lah yang paling banyak menyebabkan masalah.

Dari 44 kecamatan di Jakarta, 16 di antaranya melaporkan “infeksi saluran pernapasan atas” sebagai penyebab penyakit terbanyak. Hampir 2.000 bayi dikode ulang memiliki berat lahir rendah dan lebih dari 7.000 warga Jakarta meninggal sebelum waktunya karena terus-menerus terpapar polusi udara.

Menurut data yang diukur di stasiun cuaca di Jakarta Pusat selama 6 bulan pertama tahun 2019, ada sedikit peningkatan kualitas udara yang dapat diukur. Tingkat untuk tahun 2020 adalah 24,33 µg/m³ dibandingkan dengan periode waktu yang sama untuk tahun 2019 ketika diukur 28,57 µg/m³.